Apa Kunci Istiqomah?
Akar atau kunci istiqomah terletak pada keistiqomahan hati; sejauh mana hati itu tunduk kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hadits ini menunjukkan bahwa keistiqomahan anggota badan tergantung pada keistiqomahan hati, sedangkan keistiqomahan hati adalah dengan mengisinya dengan kecintaan kepada Allah, cinta terhadap ketaatan kepada-Nya dan benci berbuat maksiat kepada-Nya (lihat mukadimah Syarh Manzhumah fi ‘Alamati Shihhatil Qalbi, hlm. 5-6)
Sebab Hidupnya Hati
Dzikir atau mengingat Allah merupakan sebab hidupnya hati. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari). Sementara hakikat dzikir itu adalah dengan taat dan patuh kepada aturan dan petunjuk Allah. Allah pun sudah mengingatkan agar kita tidak melupakan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah maka Allah pun membuat mereka lupa akan dirinya sendiri.” (al-Hasyr : 19)
Dzikir Penghapus Dosa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘subhanallahi wa bihamdih’ seratus kali niscaya akan terhapus dosa-dosanya (dosa-dosa kecil) walaupun ia seperti banyaknya buih lautan.” (Muttafaq ‘alaih)
Makna ucapan subhanallah (maha suci Allah) adalah : tersucikannya Allah dari segala sesuatu yang tidak pantas baginya, baik berupa sekutu, teman/istri, anak, dan segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Yang dimaksud dosa-dosa di sini adalah dosa-dosa kecil, karena dosa besar tidak bisa terhapus kecuali dengan taubat. Keutamaan semacam ini hanya diperoleh bagi orang-orang yang komitmen dalam beragama, bukan bagi orang-orang yang senantiasa memperturutkan segala keinginan hawa nafsunya dan suka menerjang larangan-larangan Allah (lihat keterangan Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam Subul as-Salam, 4/2097-2098)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah juga menerangkan bahwa yang dimaksud oleh hadits ini adalah orang yang mengucapkan kalimat tersebut –subhanallahi wa bihamdihi– sebanyak seratus sekali secara berturut-turut, bukan secara terpisah-pisah atau dicicil. Bacaan ini bisa dibaca ketika awal siang atau di pagi hari, bisa juga dibaca ketika sore hari atau di awal malam (lihat Min-hatul Malik al-Jalil Syarh Shahih Muhammad ibn Isma’il, 11/321)
Orang Yang Mendapatkan Taufik
Hakikat orang yang mendapatkan taufik dari Allah adalah Allah tidak menyandarkan dirinya kepada kemampuan dirinya sendiri. Oleh sebab itu diantara dzikir pagi petang yang dipanjatkan seorang muslim adalah ‘Yaa hayyu, yaa qayyumu bi rahmatika astaghiitsu, ashlih li sya’ni kullah wa laa takilni ila nafsi tharfata ‘ainin’ artinya, “Wahai Yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha Menegakkan -segala urusan- dengan rahmat-Mu aku minta keselamatan, perbaikilah urusanku semuanya, dan janganlah Engkau sandarkan aku kepada diriku sendiri walaupun hanya sekejap mata.” (HR. al-Hakim dan beliau menyatakan sahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa amal-amal kebaikan itu akan membuahkan hidayah. Semakin besar amal yang dilakukan maka semakin besar pula hidayah yang akan didapatkan. Sebaliknya semakin besar kemaksiatan yang dikerjakan maka semakin besar pula kesesatan yang akan melingkupi dirinya (lihat al-Fawa’id, hlm. 194 tahqiq Syaikh Salim)
Hal ini senada dengan firman Allah (yang artinya), “Maka apabila datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Semakin besar usaha dan perjuangan seorang hamba dalam mengabdi kepada Allah niscaya hidayah yang Allah berikan kepadanya juga semakin besar. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan berikan petunjuk kepadanya jalan-jalan -menuju keridhaan- Kami.” (al-’Ankabut : 69)
Tauhid Bekal Raih Hidayah dan Keamanan
Firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik); mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah yang diberikan petunjuk.” (al-An’am : 82)
Tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab utama untuk meraih keamanan dan hidayah. Yang dimaksud keamanan adalah ketenangan hati dan terbebas dari cekaman rasa takut. Adapun yang dimaksud mendapatkan hidayah artinya mereka itu akan diberi taufik untuk meniti jalan yang lurus dan tegar di atasnya (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 24)
Yang dimaksud ‘orang-orang beriman’ di sini adalah mereka yang bertauhid dan memurnikan ibadahnya untuk Allah semata. Selain itu mereka juga membersihkan dirinya dari syirik. Keamanan yang akan diperoleh itu mencakup keamanan secara mutlak; yaitu tidak diazab sama sekali, atau bisa juga bermakna keamanan pada akhirnya; yaitu seandainya mereka diazab maka pada akhirnya mereka masuk surga dengan tauhidnya. Hal ini menunjukkan betapa besar keutamaan tauhid dan bahaya syirik; karena pelaku syirik tidak akan mendapatkan keamanan kecuali apabila dia bertaubat dan memurnikan tauhidnya (lihat I’anatul Mustafid, 1/77-80)
Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa barangsiapa yang tidak menjauhi syirik maka dia tidak akan mendapatkan keamanan dan hidayah secara keseluruhan. Dan barangsiapa yang selamat dari syirik niscaya dia akan memperoleh keamanan dan hidayah sekadar dengan tingkat keimanan dan keislamannya. Keamanan dan hidayah yang sempurna tidak akan diperoleh kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dalam keadaan bersih dari dosa besar. Adapun apabila orang yang bertauhid itu masih membawa dosa-dosa sebelum matinya maka dia akan mendapatkan keamanan dan hidayah sekadar dengan tingkatan tauhidnya, dan itu artinya dia juga akan kehilangan sebagian dari keamanan dan hidayah sekadar dengan maksiatnya (lihat Qurratu ‘Uyun al-Muwahidin, hlm. 10)
Dari sini kita juga bisa menyimpulkan bahwa semakin orang terbebas dari perilaku kezaliman maka akan semakin sempurna pula keamanan dan hidayah yang akan dia peroleh. Semakin sempurna tauhid dan semakin sedikit kezaliman yang dilakukan seorang hamba maka semakin besar pula keamanan dan hidayah yang akan diberikan kepadanya. Sebaliknya, apabila kezaliman yang dia lakukan semakin besar maka semakin kecil pula kadar keamanan dan hidayah yang akan dia dapatkan (lihat at-Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, hlm. 25)
Mensyukuri Nikmat Allah
Allah berfirman (yang artinya), “Jika kalian bersyukur benar-benar Aku akan tambahkan nikmat-Ku atas kalian.” (Ibrahim : 7). Sa’id bin Jubair rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya Allah akan menambahkan ketaatan kepada-Nya.” (lihat Kitab Fadhilatu asy-Syukri, hlm. 39)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, tafsiran ayat di atas adalah apabila manusia bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya niscaya Allah akan menambahkan nikmat itu kepadanya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 4/335). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hakikat syukur adalah dengan menunaikan ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai perkara yang dicintai Allah; baik yang lahir maupun yang batin (lihat al-Fawa-id, hlm. 193)
Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan, maksud ayat itu adalah ‘apabila kalian mensyukuri nikmat-Ku dengan beriman dan melakukan ketaatan Aku tambahkan kepada kalian nikmat-Ku’. Ada juga yang menafsirkan bahwa syukur menjadi pengikat nikmat yang ada dan pemburu nikmat yang hilang. Sebagian ulama juga menjelaskan bahwa jika kalian bersyukur kepada Allah dengan ketaatan niscaya Allah akan menambahkan pahala-Nya (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 682)
Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah menerangkan bahwa mensyukuri nikmat merupakan sebab nikmat-nikmat itu terus bertahan dan bertambah. Adapun mengkufuri nikmat adalah sebab hilangnya nikmat. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah ungkapan ‘nikmat jika disyukuri akan lestari, dan jika diingkari akan lari’ (lihat Kutub wa Rasa-il, 1/253)
Imam Ibnu Asakir rahimahullah (wafat 571 H) menuturkan dalam kitabnya Dzammu Man La Ya’malu bi ‘Ilmihi hadits dari Abu Barzah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya mengenai empat perkara : hartanya; dari mana dia peroleh, dan dalam apa ia belanjakan. Ilmunya, apa yang dia perbuat dengannya. Tentang masa mudanya, untuk apa ia gunakan. Dan tentang umurnya untuk apa dia habiskan.” (HR. Tirmidzi dan lain-lain, disahihkan oleh al-Albani dalam Sahih Tirmidzi no. 2417 dengan redaksi yang sedikit berbeda)
Imam Tirmidzi rahimahullah (wafat 279 H) menuturkan di dalam Kitab Shifatul Qiyamah hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Tidaklah bergeser telapak kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang lima perkara : umurnya untuk apa dihabiskan, masa muda untuk apa dia gunakan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa, dan apa yang dia amalkan dengan ilmu yang sudah diketahuinya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan al-Albani)
Hadits-hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa : setiap orang akan ditanya mengenai; hartanya, umurnya, masa mudanya, ilmunya. Untuk harta dia akan ditanya dari mana dan untuk apa, dan untuk ilmunya dia akan ditanya apa yang sudah diamalkan dengan ilmunya itu. Dalam hadits ini juga ditanyakan tentang umurnya dan secara khusus masa mudanya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa nikmat yang Allah berikan harus dipertanggungjawabkan.